Senin, 23 Mei 2011

TAJADDUD NIKAH


TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN 
TAJADDUD
STUDY KASUS PADA PASANGAN P. JUMALI DENGAN BU MARPATI 
WARGA DESA MLWANG KEC. KLAKAH KAB. LUMAJANG 



OLEH : Drs. S U T A J I





KATA PENGANTAR

Puji syukur  kehadirat Allah SWT, semoga rahmat, taufiq dan hidayah-Nya senantiasa tetap tercurahkan kepada kita , amien ya robbal alamien.
Bahagia rasanya kami dapat menyelesaikan Makalah   dengan judul  “ Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Tajadud ( Pembaharuan ) Nikah.  Sengaja  kami menulis   masalah  tersebut, karena banyak terjadi  dikalangan umat Muslim  khususnya di Desa Mlawang Kec. Klakah Kab. Lumajang, dan  Di Kabupaten Lumajang pada umumnya  yang melaksanakan Tajadud  ( Pembaharuan ) Nikah.
            Sengaja kami mengangakat tema tersebut, agar dapat digunakan sebagia pedoman atau petunjuk bagi mereka, yang dapat dipastikan hampir tiap tahun melaksanakan Tajadud atau Pembaharuan Nikah. 
Harapan kami, semoga apa yang telah kami kerjakan  dengan penulisan Makalah ini, sedikit banyak dapat membantu  Lembaga Departemen Agama Khususnya dan Para Da’i pada umumnya dalam memberikan pembinaan dan Penyuluhan  agar lebih terarah dan terprogram.
Semoga  Makalah  ini juga bermanfaat bagi para pembaca sekalian Khususnya Warga Muslim yang masih awam untuk digunakan sebagai pedoman dalam menjalankan Syari’at Islam yang lebih mendalam . Akhirnya atas segala bantuan, bimbingan serta arahan dari semua pihak kami sampaikan terima kasih.
Lumajang, Mei     2011
                                                                                       P e n u l I s
      

                                                                                       Drs. SUTAJI





BAB  I
PENDAHULUAN

I.Latar Belakang Masalah
          Dewasa ini ada kekuatiran yang sangat mendalam, terutama dikalangan Ummat Islam. Apalagi nanti berdampak pada pengamalan agama Islam dikalangan generasi yang akan datang.  Di mana budaya atau tradisi – tradisi yang tidak berdasar pada Syariat Islam seakan itu menjadi legal dan absah  dikalangan ummat Islam, bahkan yang lebih memprihatinkan lagi sebagian besar Kyai  ikut juga melegalkan perbuatan tersebut.         Salah satu persoalan tersebut adalah Memperbaharui Nikah atau Perkawinan yang sering mereka sebut dengan istilah  Tajadud.  Pelaksanaan Tajadud ini persis dengan pelaksanaan Akad Nikah.  Jadi seseorang yang sudah berumah tangga mungkin usia perkawinannya sudah berjalan, bahkan sudah berjalan puluhan  tahun ini mengadakan  upacara perkawinan baru, dengan Akad Nikah Baru  yang dilaksanakan oleh Kyai atau tokoh Agama setempat. Dengan mengundang tetangga kanan kiri, karib kerabat sanak saudara, bahkan bagi mereka yang memiliki kemampuan ekonomi lebih mereka mendatangkan  para Kyai  yang Kharismatik  dengan jumlah undangan yang sangat besar mungkin sampai ratusan ,  persis layaknya sebagaimana mereka mengadakan Walimatul Urs  pada awal pernikahan dulu.        
          Dan pelaksanaan Tajadud ini, tidak hanya sekali, dua kali atau tiga kali dalam kehidupan rumah tangga mereka. Anehnya  tiap tahun pasangan keluarga tersebut mengadakan Pembaharuan Nikah atau membangun Nikah  bahkan ada yang tiap Jumat Legi,  Dan yang tidak habis pikir, mengapa Kyai – Kyai atau tokoh Agama setempat itu kok mau – maunya mereka  menikahkan pasangan keluarga yang sudah mereka Nikahkan  tiap tahun, bahkan satu minggu sekali yakni tiap hari Jumat legi mereka nikahkan. 
            Inilah yang mengusik hati kami untuk mengkaji lebih mendalam, persoalan tersebut. Apakah mereka punya landasan atau dasar yang  kuat dalam syariat Islam, sehingga Para Kyai atau Para Tokoh Agama  tersebut tanpa beban dan rasa berdosa dengan hati yang lapang mereka menikahkan Satu pasangan keluarga dengan berulang kali,  tiap tahun bahkan ada yang satu minggu  sekali.           
          Agak lama juga kami berpikir untuk menentukan judul dari tulisaan ini, karena menyangkut  referensi dari Istilah Tajadud itu sendiri yang sulit kami dapatkan dari beberapa kitab. Karena memang istilah ini  tidak lazim  dan belum pernah satu pun penulis sepengetahuan kami yang mengkaji tentang pelaksanaan Tajadud itu sendiri. Karena itu hanyalah tradisi yang turun temurun dari pendahulu – pendahulu kita atau nenek moyang kita dulu. Dan mereka yang  melaksanakan atau Tokoh Agama yang sering melaksanakan Tajadud tersebut ketika kami tanya tak satupun dari mereka yang tahu dari mana sebenarnya istilah tersebut berasal.
            Namun karena ini merupakan panggilan hati, maka bagi kami sangat perlu sekali untuk meluruskan tradisi tersebut dengan memberikan pemahaman bagi Para Kyai atau Tokoh Agama setempat, agar mereka paham dan  memberikan pemahaman pada warga masyarakat Muslim yang tiap tahun bahkan  tiap satu minggu sekali melaksanakan Pernikahan, Padahal kita tahu bahwa masalah Pernikahan dalam ajaran agama Islam adalah sesuatu yang sangat sacral dan tidak boleh dibuat main-main. Dan ada batasan, ada aturan dalam pernikahan tersebut, berapa kali seseorang dibolehkan untuk mengadakan akad nikah baru dengan pasangan yang ia nikahi itu. 
            Karena masalah pernikahan itu sudah diatur oleh Allah SWT, lewat Al-qur’an dan Sunnah. Dan kita sama sekali tidak boleh main – main dengan hukum Allah tersebut. Ajaran Islam hanya membatasi dua kali  saja seorang pasangan bisa Rujuk atau kembali. Namun jika melebihi dua kali, tentu  saja tidak bisa. Walaupun dengan akad nikah yang baru sekalipun tetap tidak diperbolehkan.  Artinya, Thalaq yang dijatuhkan oleh pasangan Suami  itu hanya dibatasi dua kali dibolehkan untuk rujuk. Dan thalaq yang ke-tiga itu sudah yang terakhir  dan pasangan suami istri tersebut sudah tidak bisa lagi untuk kembali. Kecuali Istri yang sudah dithalaq tiga tadi sudah Dinikahi oleh lelaki lain dan diceraikan, maka baru pasangan yang pertama tadi dibolehkan untuk menikah kembali .  
            Sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an Surat Al-Baqarah  ayat 229  dan 230  


 الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ


Artinya  :  Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. {1} Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang lalim. “ 1)

 فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (230)
Artinya  : “Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. “ 2)

       Padahal kasus yang terjadi dalam Tajadud, satu pasangan bias lebih dari tiga kali Mereka memperbaharui Nikah  atau melaksanakan pernikahan  bahkan ada yang melaksanakan tiap tahun sekali, lebih gila lagi ada yang satu minggu sekali.  Ini jelas – jelas mempermainkan hukum Allah dan itu sangat dilarang oleh Nabi.    
            Sebagaimana  sabda Nabi Muhammad SAW,

أيلعب بكتاب الله وأنا بين أظهر كم ؟ حتى قام رجل وقال : يارسول الله ألا أقتله ؟

Artinya : Pantaskah ia bermain dengan kitab Allah, sementara saya masih ada ditengah-tengah kalian ?” Hingga ada seseorang yang bangun dan berkata , “ Wahai Rasulullah, bagaimana kalau saya bunuh saja orang itu “ 3)

            Itulah sebabnya mengapa kami tertarik untuk menulis makalah ini dengan judul “ Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Tajadud ( Pembaharuan ) Nikah ”. Tulisan ini berusaha untuk dapat memberikan gambaran yang nyata tentang  hal – hal yang berkenaan dengan pelaksanaan Tajadud dan bagaimana Pandangan Islam tentang Pelaksanaan Tajadud.   

2.Tujuan Dan Kegunaan Penulisan
2.1. Tujuan
a)      Untuk mengetahui asal usul dan pengertian  Tajadud
b)            Untuk mengetahui sebab dan Tujuan mengadakan Tajadud.
c)            Untuk mengetahui Pandangan Islam terhadap Pelaksanaan Tajadud
2.2. Kegunaan
a.       Untuk Pembuatan Keputusan
Yakni sebagai bahan Informasi dalam menentukan Strategi Pembinaan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan sakralnya  pernikahan dalam Islam.
b.      Untuk  Penyuluhan 
Yakni sebagai bahan Informasi kepada petugas KUA Dan BP-4 serta MUI Kecamatan  untuk memberikan Pemahaman dan Kesadaran Hukum  kepada Masyarakat tentang aturan – aturan hukum  dalam pernikahan serta untuk  pembinaan keluarga Sakinah.
c.       Bahan Penelitian
Tulisan ini merupakan langkah awal  dari sebuah penelitian yang lebih besar, sehinnga  hasil dari kajian ini diharapkan mampu memberikan Informasi  untuk penelitian – penelitian didaerah lain  atau bisa dikembangkan   kepenelitian yang lebih komperhensif kaitannya dengan masalah perilaku menyimpang dalam proses pernikahan.
3.Metode Penulisan
          Makalah ini merupakan hasil berpikir Induktif, sehingga kesimpulan yang ada kami tarik berdasarkan data empiris, setelah sebelumnya kami lakukan verifikasi data.  Artinya apa yang akan kami sajikan dan  simpulkan dalam makalah ini adalah merupakan hasil dari pengamatan lapangan.
            Sehingga metode penulisan  yang kami lakukan adalah melalui “pendiskripsian gejala dan peristiwa berdasarkan pengamatan lapangan”4). Kemudian hasil-hasilnya kami tulis  dan kami kaji serta kami bandingkan  berdasarkan teori-teori  yang telah ada. Karena ini merupakan Kajian Hukum Islam, maka  tentu teori-teori tersebut harus berdasarkan pada Al-qur’an , Hadits  serta Ijma dan qiyas.  Setelah itu hasilnya baru kami simpulkan.  Sehingga menurut Dr. Nana Sudjana” 5), bahwa menulis makalah cara Induktif jauh lebih mudah dari pada cara deduktif, sebab intinya adalah menuliskan atau melaporkan apa yang terjadi dilapangan, diperjelas dan dibandingkan dengan kajian teoritis.


BAB    II
PERMASALAHAN  TAJADUD DI MASYASRAKAT

1.     Apakah Tajadud  itu
Tidak ada yang tahu persis sebenarnya siapa yang pertama kali menggunakan Istilah Tajadud itu ditengah masyarakat dan dari mana berasal serta kapan pertama kali istilah tersebut digunakan dalam  kehidupan keagamaan  masyarakat.
            Sebenarnya kata Tajadud itu sama dengan Tajdid yang secara harfiah berarti “pembaharuan” 1).  Namun dalam praktek keagamaan  Tajadud tidak sama dengan Tajdid. Kalau dalam Tajdid, pembaharauan itu melingkupi seluruh aspek kehidupan kegamaan  baik berbentuk pemikiran ataupun gerakan “ sebagai reaksi atau tanggapan terhadap tantangan-tantangan internal maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dan urusan social umat’ 2).
            Sedangkan dalam Tajadud, “ pembaharuan hanya menyangkut masalah                   “ pernikahan atau perkaiwnan ”. Dan istilah tersebut sering juga disebut sebagai Pembaharuan Nikah atau dalam bahasa jawa  disebut Nganyari Nikah. 
            Pelaksanaan Pembahruan Nikah, Yang sering disebut sebagai Tajadud adalah merupakan tradisi  yang turun temurun dari nenek moyang kita terdahulu yang  datangnya terkadang bukan atas inisiatif pasangan keluarga tersebut, akan tetapi biasanya perintah melaksanakan Pembaharuan Nikah atau Nganyari Nikah  itu dari Dukun atau Kyai tertentu yang senang pada hal-hal yang bersifat Klenik.
            Adapun pelaksanaan Tajadud atau Pembaharuan Nikah yang dalam bahasa Jawa sering disebut sebagai Nganyari Nikah, satu pasang keluarga ( suami istri ) dalam satu tahun  itu mengadakan Pembaharuan Nikah  misalnya, Kasus dari Pasangan Ibu Marpati dan Bapak Jumali. Pasangan ini hampir tiap tahun mengadakan upacara Pembaharuan Pernikahan, dengan Menggunakan Akad Nikah Baru yang dilakukan oleh Kyai atau Tokoh Agama setempat  dan sudah berjalan puluhan Tahun. Pasangan Ibu Marpati dan Bapak Jumali hanyalah satu contoh kasus dari beberapa puluh kasus yang lain. 
 Jadi sepasang suami istri bisa  tiga kali, empat kali, bahkan sepuluh kali lebih mengadakan  Pembaharuan Nikah  dengan Akad Nikah baru yang dilakukan oleh Kyai atau Tokoh Agama Setempat  atau Modin.  Selanjutnya contoh dari kasus tersebut akan kami sampaikan lebih mendalam pada sub pokok bahasan khusus dalam “Kasus Tajadud di tengah Masyarakat”.
           
2. Mengapa terjadi Tajadud
          Dari beberapa keterangan yang berhasil kami himpun, paling tidak ada empat sebab mengapa seseorang itu mengadakan atau melaksakan Tajadud, antara lain :
a)      Dikuatirkan dalam pergaulan sehari – hari antara Suami dan Istri, itu ada omongan atau perkataan  yang menjurus kepada Thalak.
b)      Adanya ketidak tentraman atau ketidak harmonisan  hubungan suami istri dalam membina rumah tangga.
c)      Karena  tekanan ekonomi,
d)      Atas petunjuk Dukun atau Kyai 

Dari ke-empat sebab tersebut antara yang satu dengan lainnya saling terkait dan tidak bisa dipisah – pisahkan.  Karena menurut mereka rusaknya pernikahan yang disebabkan oleh perkataan  yang menjurus pada thalak, itu akibatnya tidak saja membuat pernikahan mereka batal.  Akan tetapi juga berdampak pada factor yang lain seperti, Membuat hubungan mereka tidak harmonis lagi  dan dapat  Membuat kehidupan ekonomi mereka menjadi tersendat, sehingga rejekinya kurang lancar. Kalau hal tersebut didiamkan maka akan membuat kehancuran rumah tangga dan keluarga mereka lebih parah lagi.  Maka atas anjuran Dukun atau Kyai mereka perlu membangun Nikah atau Memperbaharui Nikah  yang sering dikenal dengan istilah Tajadud. 
Biasanya  sebelum mengadakan Tajadud, seseorang itu menurut pengakuan mereka mendapatkan “Wangsit”  ( petunjuk ) dari mimpi. Setelah itu mimpi tersebut dikonsultasikan pada Dukun atau Kyai. Namun sebenarnya sebagian besar dari mereka yang melaksanakan Tajadud   disebabkan  karena  tekanan  Ekonomi yang membuat kehidupan mereka terhimpit oleh beberapa kebutuhan pokok  yang sangat tinggi  dan merekapun tidak tahan menerima ujian dan cobaan dari Allah SWT, sehingga mereka mencari jalan lain yang dianggapnya dapat membukakan pintu rejeki  dan kelancaran  usaha bagi diri dan keluarganya. 
Maka  pergilah mereka ke Dukun atau ke Kyai untuk mengkonsultasikan masalah tersebut, dan atas anjuran Dukun atau Kyai mereka dianjurkan untuk melaksanakan Tajadud tiap tahun atau tiap Jum’at Legi ( Jum’at manis ) tergantung dari masalah dan keyakinan yang mereka miliki, agar mereka dapat terbebas dari masalah dan beban yang menghimpitnya.


3. Apa Tujuan diadakannya Tajadud

            Adapun tujuan mereka mengadakan Tajadud anatara lain :
a)      Untuk memperbaiki  atau memperbaharui  Nikah.
b)      Untuk memperoleh kebahagiaan dan keselamatan  dalam hidup berumah tangga.
c)      Untuk memperoleh  kelancaran usaha.
d)      Agar memliki kelapangan rezeki dalam rumah tangga.  

4. Kasus Tajadud di tengah Masyarakat

a)      Kasus  Pernikahan P. Jumali dengan  B. Marpati, Yang melaksanakan Tajadud Setiap Tahun sekali.

Ibu Marpati  menikah dengan Pak Jumali pada Tahun 1979 dan dikaruniai seorang anak perempuan  yang diberinama  Siti Rukmini lahir pada Tahun 1980. Dan Siti Rukmini adalah anak satu-satunya dari Pasangan Ibu Marpati dengan Pak Jumali.  Kini Siti Rukmini Anak satu-satunya tersebut bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil ( PNS) di Rumah Sakit Umum  Dr. Haryono Kabupaten
Lumajang sebagai Perawat, karena memang pendidikan terakhir  Siti Rukmini adakah  Akper. Selain itu, Pasangan Ibu Marpati dan Pak Jumali, juga memiliki dua anak angkat yakni :  
1.      Matsuji  yang lahir pada tahun  1977, kini berkerja sebagai ABRI
2.      Jumali , lahir pada tahun 1978 yang bekerja sebagai pedagang.
Ibu Marpati   asli dari madura, yang lahir  pada tahun  1957, bekerja sebagai pedagang.  Sedangkan Pak Jumali berasal dari Tanggul  Kab. Jember, bekerja sebagai Pegawai PJKA Kec. Klakah Kab. Lumajang. Pada tahun 2005 lalu Pak Jumali telah mengajukan Pensiun Dini, karena ingin berkonsentrasi membantu bisnis Istrinya di Pasar Klakah Kab. Lumajang.
Sebelum Ibu Marpati menikah dengan Pak Jumali yang masih jejaka dan sudah PNS pada waktu itu, Status Ibu Marpati adalah lima kali Janda. Rata – rata usia pernikahan  Ibu Marpati dengan Suami – Suaminya terdahulu hanya dapat berjalan  satu sampai dua tahun.      
            Belajar dari pengalaman tersebut, maka Ibu Marpati tidak ingin lagi mengalami kegagalan didalam membina rumah tangganya dengan Pak Jumali, walaupun dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Maklum Pak Jumali yang hanya Pegawai rendahan di PJKA, gajinya hanya cukup untuk memberi makan Istri dan seorang anaknya.  Sementara pasangan tersebut memiliki dua anak angkat.
            Maka mau tidak mau Ibu Marpati harus lebih giat dalam bekerja dan berusaha untuk memajukan dagangannya di Pasar Klakah, agar dapat meningkatkan pendapatan dan membangun ekonomi keluarga dengan baik.      
            Biasa dalam rumah tangga ada riuh – riuh kecil, begitu juga yang dialami oleh pasangan Pak Jumali dangan Ibu Marpati, apalagi Ibu Marapati seorang yang sudah lima kali menjada  sedangkan Pak Jumali seorang yang masih Jejaka Ting-ting. Walau tidak terbilang tiap hari namun dalam satu minggu mesti saja mereka pernah mengalami pertengkaran kecil-kecilan, mulai dari masalah ekonomi sampai kemasalah yang lainnya.
            Dengan berbagai permasalahan rumah tangga yang mereka hadapi itulah mereka memutuskan untuk  pergi ke Dukun – Dukun  dan Ke Kyai – Kyai, dari sinilah awal mula mereka melaksanakan Tajadud atas saran dan nasehat Pak Dukun dan Pak Kyai, yang sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh Ibu Marpati  dengan ke-lima suaminya terdahulu.
            Menurut pengakuan dari Ibu Marpati dan Pak Jumali, setelah mereka mengadakan Tajadud  yang pertama kali pada tahun 1990, ternyata ada hasilnya. Kondisi rumah tangga dan keluarganya bertambah harmonis, ekonomi keluarga juga bertambah baik, dikarenakan  usaha daganganya bertambah lancar di Pasar Klakah.        
            Walaupun terkadang, namanya orang ya tetap saja ada masalah dalam kehidupan rumah tangga dan keluarganya.  Untuk menjaga hal – hal yang tidak diinginkan, supaya pernikahannya tetap terjaga dan tidak rusak serta agar kondisi ekonominya juga tetap baik, maka atas nasehat Dukun dan Kyai  agar Ibu Marpati dan Pak Jumali untuk melaksankana Tajadud ( Pembaharuan Nikah) tiap tahun.    
            Nasehat Dukun dan Kyai itulah yang dijadikan pedoman pasangan Ibu Marpati dan Pak Jumali dalam melaksanakan Tajadud  ( Pembaharuan Nikah ) tiap tahun, mulai   tahun 1990 sampat saat ini.


B  III
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tajadud

1.     Aturan Pernikahan Dalam Islam.
Pernikahan merupakan peletakan batu pertama untuk sebuah bangunan indah dan megah  di masyarakat dan tidak mungkin tercipta rumah tangga bahagia kecuali bangunan tersebut tegak diatas pilar-pilar dasar ketenangan atau sakinah, saling mencintai, saling mengasihi, saling menyayangi dan saling melindungi.
Allah telah meletakkan kaidah rumah tangga bahagia sebagaimana dalam frimannya ;
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya :  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”1).
         
          Apabila keluarga telah menegakkan nilai-nilai diatas maka tingkat rumah tangga yang ideal mampu tercapai dan cita – cita untuk menyusun rumah tangga bahagia dan sakinah bisa terwujud. Jika sebuah keluarga dibangun diatas pondasi yang kokoh tentu akan menyemai benih kehidupan rumah tangga dengan penuh kejujuran, kebersamaan,saling pengertian, saling melengkapi, saling percaya dan saling membutuhkan, serta secara otomatis  akan terbangun rasa cinta yang tulus, kemesraan dan tanggung jawab di antara anggota keluarga.
            Sehingga keadilan dan pergaulan yang baik antara suami dan istri merupakan landasan dan pondasi utama untuk membentuk keluarga bahgia sejahtera dan rumah tangga idaman. Islam agama Fitrah, artinya seluruh ajaran Islam sesuai dengan fitrah manusia, dengan demikian segala sesuatu yang berkenaan dengan fitrah manusia, maka Islam mengaturnya dalam bentuk ajaran-ajaran Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Syari’at Islam.
            Karena itulah setiap muslim yang bercita-cita untuk membentuk rumah tangga yang bahagia sesuai dengan yang dicita-citakan, maka dia wajib untuk mengetahui secara mendalam hokum-hukum yang berakaitan dengan adab meminang, persyaratan nikah, tatacara pernikahan dan resepsi pernikahan, adab malam pengatin, batasan mahram. Dan Hukum aib dalam pernikahan.    
            Yang tidak kalah penting adalah bahwa setiap muslim harus paham tentang hukum Talak, hikmah disyariatkan Talak, lafazhnya, macam-macamnya, factor yang menjadi penyebab terjadinya talak dan hukum yang berkaitan dengan Iddah.  Dan juga harus pahami pula bagi seorang istri tentang tentang nusyuz, khulu’ ruju’ dan zhihar serta semua hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut. 
          Dan secara keseluruhan itu sudah diatur didalam ajaran Islam,  yang intinya bahwa didalam pernikahan itu ada hal – hal yang dihalalkan dan ada pula yang diharamkan.  Mana yang halal dan mana pula yang haram itulah yang harus kita patuhi.

2.     Halal dan Haram Dalam Perkawinan
Hal-hal yang dihalalkan dalam perkawinan adalah selain semua  yang diharamkan 
dalam perkawinan.  Menurut Imam Al-Ghazali “2), dalam buku Benang Tipis Antara Halal dan Haram,  ada empat belas larangan yang harus dihindari oleh umat Islam dalam perkawinan  antara lain :    
a.       Membujang bagi yang sudah mampu kawin.
b.      Meminang bekas istri orang lain yang sedang dalam masa ‘iddah.
c.       Meminang pinangan orang lain.
d.      Kawin cinta buta.
e.       Kawin dengan perempuan karena nasab.
f.        Kawin dengan perempuan karena ada hubungan tali perkawinan.
g.       Kawin dengan perempuan karena susuan.
h.       Memadu dua orang perempuan bersaudara.
i.         Kawin dengan perempuan zina.
j.        Kawin dengan bekas istri yang pernah dilaknati.
k.      Kawin dengan perempuan Musyrik.
l.         Perempuan Muslimah kawin dengan laki-laki non Muslim.
m.     Beristri lebih dari empat orang.
n.       Kawin Mut’ah.
            Sedangkan  hal-hal yang diharamkan dalam hubungan suami istri menurut Imam Al-ghazali “3). ada delapan antar lain :
a.       Bersetubuh lewat dubur.
b.      Menceritakan rahasia suami istri.
c.       Menyetubuhi istri ketika datang bulan ( haid ).
d.      Bersumpah untuk menjauhi istri.
e.       Menyusahkan Istri.
f.        Bersumpah untuk bercerai.
g.       Suami mengeluarkan istri yang dicerai dari rumah suaminya dalam masa Iddah.
h.       Pengguguran Kandungan.
            Adapun jika terjadi keretakan hubungan dalam perkawinan, yang mengakibatkan sudah tidak harmoninya  lagi hubungan suami istri. Dan telah ditempuh berbabgai jalan namun sulit untuk disatukan kembali, maka Islam memberikan jalan keluar melalui Thalak ( perceraian ). Islam memperbolehkan menempuh cara tersebut secara terpaksa. Nabi tidak menganjurkan apalagi mendorong, dalam riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah Nabi bersabda :
    أبغض الحلال عندالله الطلاق
Artinya :  “Perkara yang halal yang sangat  dibenci Allah ialah thalak” 4)

            Ungkapan bahwa ia adalah perkara yang sangat dibenci Allah, mengingatkan kita
bahwa thalak adalah keringanan yang disyariatkan karena kondisi darurat. Yakni ketika hubungan telah retak, suami istri sudah sama –sama tidak respek dan tidak suka, sehingga tidak mungkin lagi menegakkan hukum Allah SWT, dan hak-hak suami-istri.       
          Namun demikian Islam juga memberikan batasan batasan dalam thalak, karena “thalak tanpa adanya kondisi yang memaksa dan sebelum dilakukan berbagai usaha dan cara pendekatan, maka hukumya haram dan dilarang keras dalam Islam”5).
              Thalak sebagai jalan keluar dari kemelut rumah tangga yang telah ditentukan Allah SWT, mempunyai aturan yang harus diikuti. Dari segi benar tidaknya talak yang dijatuhkan, talak dapat dibagi menjadi “ Talak sunni dan Talak bid’I” 6). Talak sunni adalah talak yang dilakukan sesuai dengan petunjuk yang ada dalam syariat Islam.  Misalnya menalak Istri harus bertahap ( dimulai dari Talak satu, dua dan tiga ). Dan menalak Istri dalam keadaan suci tidak sedang haid serta belum digauli. Sedangkan Talak bid’I adalah talak yang dilakukan melalui cara-cara yang tidak diakui oleh syariat Islam. Misalnya, menjatuhkan talak tiga kali sekaligus, menalak istri dalam keadaan Haid dan menalak istri dalam keadaan suci tetapi telah digauli terlebih dahulu.
            Dilihat dari boleh tidaknya suami rujuk dengan istri yang telak ditalak, terbagi menjadi dua yakni ; “Talak raj’I dan Talak ba’in”7). Talak Raj’i adalah talak satu atau dua yang dijatuhkan suami pada Istri.  Dalam keadaan seperti ini suami masih berhak untuk rujuk atau kembali pada Istri tanpa akad dan mahar yang baru selama rujuk tersebut dilakukan dalam masa Iddah istri.
            Sedangkan Talak  Ba’in adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya di mana suami berhak kembali pada istrinya melalui akad nikah dan mahar baru. Talak ba’in terbagi menjadi; Ba’in Kubra ( besar ) dan Ba’in sughra ( kecil). Talak Ba’in kubra adalah talak  yang ketiga kalinya. Dalam Talak Ba’in Kubra, suami baru  dapat kembali pada istrinya dengan akad nikah setelah istri tersebut kawin dengan lelaki lain dan bercerai kembali secara wajar. Firman Allah dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 230 :

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ   
Artinya : Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui “8)

            Talak ba’in Sughra adalah talak yang dijatuhkan suami  pada istrinya yang belum pernah disetubuhi, talak dengan tebusan (khuluk), dan Talak Raj’I yang telah habis masa  iddahnya sementara suami tidak rujuk dala masa tersebut. Dalam kondisi seperti ini suami tidak berhak untuk rujuk atau kembali pada istrinya, kecuali dengan akad Nikah baru  dan Mahar yang baru pula. Namun si istri tidak disyaratkan harus kawin dengan lelaki lain sebagaimana dalam Talak Ba’in Kubra.
         Menurut jumhur Ulama” 9),ada perbedaan lain dari kedua talak tersebut yakni :
a)            Dalam talak ba’in kubra, jika suami kembali pada istri yang telah ditalaknya dengan akad nikah dan mahar baru, maka ia kembali memiliki hak talak sebanyak tiga kali karena perkawinannya yang kedua tersebut dianggap sebagai perkawinan  baru.
b)            Sedangkan Talak ba’in Sughra, sekalipun antara suami dan istri terikat kembali dalam perkawinan melalui akad dan mahar baru, namun bilangan talak yang dimiliki suami berkurang. Jika talak tersebut talak pertama, maka dia hanya memiliki hak talak dua kali. Dan seterusnya.  

3.     Hukum Melaksanakan Tajadud
          Bagaimanakah hukum melaksanakan Tajadud, Halal atau Haram kah kita ummat muslim melaksanakan Tajadud, itulah yang akan menjadi fokus kajian pada bahasan ini. Untuk menentukan sesuatu itu halal atau haram, maka kita harus kembali pada prinsip-prinsip yang ada dalam ajaran Islam.
            Prinsip halal dan haram dalam Islam terbagi menjadi  tiga bagian yakni masalah
 Adat, Muamalat dan Ibadah.  Ada kaidah – kaidah fiqih yang berbeda diantara ketiga hal tersebut antara lain :a.       Adat
Kaidahnya menyataka bahwa “dalam persoalan adat pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh untuk dikerjakan, kecuali yang memang telah diharamkan”10).
b.       Mu’amalat
Dalam Mu’amalat berlaku kaidah bahwa “ Asal segala sesuatu itu adalah halal. Tidak ada yang haram kecuali jika ada nash (dalil) yang shoheh ( tidak cacat periwayatannya) dan sharih ( jelas maknanya) dari pemilik syariat ( Allah SWT) yang mengharamkannya”11).  
c.       Ibadah    
Kaidah Fiqh menyatakan bahwa :
لآتتشرع عبا دةالابشرع الله.      
            Artinya : Suatu ibadah tidak disyariatkan kecuali disyariatkan oleh Allah”12)
Sedangkan Hukum Asal Ibadah dinyatakan bahwa :   
 

الأصل فى ا لعبادات التوقيف, فلايتعبدالله الابما شرعهالله

        فيكتابه وعلي لسان رسوله محمد ص م فان العبا دة حق خالص لله تعالى قد طلبه من عباده بمقتضى ربو بيته لهم وكيفية العبا دة وهيئتها والتقرب بها ليكون الاعلى الوجه الدى
شرعه وأذن به…  

Artinya : Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqif ( mengikuti ketentuan dan tata cara yang telah ditentukan oleh syariat.  Karena itu tidak dibenarkan beribadah kepada Allah kecuali dengan peribadatan yang telah disyariatkan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan melalui penjelasan Rasul-Nya, Muhammad SAW. Hal ini karena ibadah adalah hak murni Allah yang Ia tuntut dari Hamba-Nya berdasarkan sifat rububiyah-Nya terhadap mereka.Tata cara, sifat, dan ber-taqorub (melakukan pendekatan diri kepada Allah) dengan ibadah hanya boleh dilakukan dengan cara yang telah disyariatkan dan diizinkan-Nya…. “13) 

          Karena itulah dalam masalah Ibadah kita tidak boleh membuat tata cara yang baru, melainkan harus sesuai dengan tuntunan  dari Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW.
من أحد ث في أمرناما ليس منه فهوردز (متفقن عليه)
Artinya : Barangsiapa yang membuat cara baru dalam urusan Kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia tertolak”14)


            Dari ketiga kaidah tersebut itulah kita akan menetukan, apakah Pelaksanaan Tajadud itu Halal atau Haram.  Sebelum menentukan halal atau haram perbuatan Tajadud maka kita harus pahami terlebih dahulu, termasuk dari katageori  apakah Tajadud tersebut. Apakah masuk wilayah, Adat, Mu’amalat ataukah Ibadah.
            Karena itu penting untuk dikaji satu persatu diantara ke-tiga persoalan tersebut, agar kita dapat menentukan dengan benar dan tepat mengenai hukum melaksanakan Tajadud.
a)    Pelaksanaan Tajadud  dari Kaca mata Ibadah.
            Untuk melaksanakan ibadah harus ada perintah, “karena masalah ibadah itu semata-mata urusan agama yang tidak ditetapkan melainkan dari jalan wahyu”15). Atau dalam bahasa lain sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa “Ibadah yang diwajibkan dan dicintai Allah tidak dapat ditunaikan kecuali dengan syariat”16).
            Adapun masalah pernikahan adalah bagian dari ibadah, sebab didalamnya ada perintah ada larangan serta ada tata cara, syarat dan rukun didalam melaksanakan perkawinan. Sedangkan  istilah Tajadud atau pembaharuan Nikah didalam ajaran Islam tidak dikenal. Dan juga tidak pernah ada perintah ataupun petunjuk dari Allah maupun Rasul-Nya, mengenai pelaksanaan Tajadud.
            Untuk mengatasi persoalan didalam rumah tangga, apabila suami istri sudah tidak dapat disatukan kembali, Islam telah memberikan satu jalan keluar yang terbaik yaitu melalui jalan Talaq apabila ingin berpisah dari pasangannya dan Rujuk apabila ingin kembali. Bagaimana pula tata cara seseorang dapat melakukan  Talaq dan Rujuk, itupun didalam ajaran Islam telah diatur dengan sangat sempurna. Dan kita umat Islam tidak dibenarkan membuat aturan dan tata cara tersendiri. Misalnya dengan melaksanakan Tajadud, apalagi  pelaksanaannya itu, atas petunjuk Dukun atau Kyai yang senang pada hal-hal yang bersifat klenik yang bertujuan untuk  memperoleh  kelancaran usaha serta Agar memliki kelapangan rezeki dalam rumah tangga.      
            Maka sesuai dengan  kaidah fiqih dan hukum asal Ibadah sebagaimana tersebut diatas   dapat dipastikan bahwa Hukum Melaksanakan Tajadud  atau Pembaharuan Nikah dtinjau dari kaca mata Ibadah adalah Haram. Dan termasuk perbuatan yang mengada-ngada  serta membuat tata cara baru dalam masalah ibadah, yang jelas – jelas dilarang oleh Rasulullah SAW.  Sebagaimana sabda Rasulullah  :
من أحد ث في أمرناما ليس منه فهوردز (متفقن عليه)
             Artinya : Barangsiapa yang membuat cara baru dalam urusan Kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia tertolak”17)

Ini karena hakekat agama tercermin dalam dua hal : pertama, tidak beibadah kecuali kepada Allah, dan kedua, tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan petunjuk syariat-Nya. Barangsiapa membuat-buat sendiri cara beribadah- siapapun dia- maka hal itu termasuk kesesatan yang tertolak. Demikian itu dikarenakan Allah sendirilah yang berhak  untuk menggariskan tata cara beribadah yang dengan ibadah itu diharapkan manusia  dapat lebih bertaqarub ( mendekatkan) diri kepada-Nya.

            Apalagi Tajadud atau pembaharuan Nikah yang ia laksanakan  itu atas petunjuk Dukun, padahal Islam dengan tegas   menolak  dan melarang dengan sangat keras pada ummatnya untuk  tidak mendatangi dan mempercayai Dukun. Bahkan bagi mereka yang tetap mendatangi sekali saja, maka  sholatnya tidak akan diterima oleh Allah SWT, selama empat puluh hari, dan ia termasuk golongan orang – orang  yang mengingkari Wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW, yakni Al-qur’an. Sebagaimana  sabda Rosulullah SAW ;
من أتى عرافا فسأ له عن شيء لم تقبل له صلاة أربعين ليلة
Artinya ; “Barangsiapa mendatangi peramal, lalu bertanya kepadanya dan membenarkan apa yang dikatakannya,  maka tidak  diterima  shalatnya  selama empat puluh hari” 18)
من أتي كا هنا أو عرافا فصدقه بما كفر بما أنزل علي محمد.
Artinya ; “Barangsiapa mendatangi Dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannya, ia telah mengingkari wahyu yang diturunkan kepada Muhammad” 19)
            Maka  jelas  bahwa pelaksanaan  Tajadud atau pembaharauan Nikah  yang merupakan petunjuk dari seorang Dukun hukumnya adalah Haram. Sebab sebagaimana kita ketahui bahwa dasar utama dalam menjalankan suatu Ibadah itu adalah Syar’I yakni syariat yang telah digariskan oleh Allah SWT, bukan dari seorang Dukun atau Kyai.

b)    Pelaksanaan Tajadud  dari Kaca mata Adat dan Mu’amalat
            Adapun mengenai adat dan Mu’amalat, berlaku kaidah fiqih bahwa asal segala sesuatu  adalah boleh kecuali ada nash yang melarangnya. Karena sumber masalah Adat dan Mu’amalat bukan dari Syar’I ( Allah) , tetapi justru manusia itu sendiri yang menimbulkan dan mengadakan. Syar’I dalam hal ini tugasnya adalah untuk membetulkan dan meluruskan, mendidik dan mengakui kecuali dalam beberapa hal yang memang akan membawa  kerusakan dan madlorot. Sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Taymiyah bahwa “ Adat Istiadat itu adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh masyarakat dalam urusan dunia yang mereka butuhkan. Prinsip dasar hukumnya adalah tidak ada larangan. Tidak ada larangan padanya kecuali apa –apa yang dilarang Allah Swt. Demikian itu karena, perintah dan larangan adalah kewenangan syari’at Allah Swt”20). 
            Dari beberapa keterangan yang kami himpun melalui berbagai sumber dapat kami tarik suatu kesimpulan  bahwa Tajadud atau Pembaharuan Nikah  itu memang lebih condong kepada tradisi atau adat.   Yakni tradisi yang sudah turun temurun  dalam rangka untuk memperbaharui Nikah atau dalam bahasa Jawa sering disebut sebagai Istilah “Nganyari Nikah”. Yang dilakukan ketika pasangan Suami Istri ada suatu masalah didalam kehidupan rumah tangga mereka.  Mungkin lebih tepat jika dikatakan  bahwa Istilah Tajadud  yang  mereka gunakan itu sebenarnya menurut bahasa Al-qur’an adalah Rujuk.  Namun jika dilihat dari maksud dan tujuan melaksanakan Tajadud, maka tidak semuanya bisa diartikan sebagai istilah Rujuk.
Karena itulah untuk menetukan Hukum melaksanakan  Tajadud sebagai suatu tradisi juga harus melihat maksud dan tujuan dilaksanakannya Tajadud. Adapun  maksud dan tujuan mereka mengadakan Tajadud sebagaimana yang telah kami sampaikan pada  bab terdahulu antara lain :
a)      Untuk memperbaiki  atau memperbaharui  Nikah.
Hal ini disebabkan karena  dikuatirkan dalam pergaulan sehari – hari antara Suami dan Istri, itu ada omongan atau perkataan  yang menjurus kepada Thalak.
Dalam kasus seperti ini mungkin Tajadud bisa diartikan sebagai Rujuk. Karena diawali dengan pertengkaran atau perselisihan didalam rumah tangga, yang mungkin dalam perselisihan antara suami istri tersebut terucap kata-kata yang menjurus pada Talak. Sehingga menimbulkan kekuatiran  diantara mereka bahwa pernikahan mereka telah batal sehingga perlu dirujukkan kembali.  Peristiwa rujuknya kembali antara suami istri inilah yang mereka sebut sebagai Tajadud.
            Bagaimana hukum pelaksanaan Tajadud tersebut diatas halal ataukah haram.  Untuk menentukan apakah hal tersebut diatas halal atau haram, maka kita juga harus tahu. Apakah dalam melakasanakan Tajadud tersebut sudah sesuai dengan Syar’I  ( syari’at ) atau belum. Jika yang dimaksud dengan Tajadud itu kembalinya Suami pada Istri atau sebaliknya yang dalam bahasa Al-qur’an disebut sebagai istilah Rujuk. Maka sudah sesuaikah pelaksanaan Rujuk tersebut dengan aturan Islam atau belum.  Jika sudah sesuai dengan syariat Islam, maka hukumnya adalah Halal.
Dan jika tidak sesuai dengan syariat Islam, misalnya  satu pasangan suami istri  melaksanakan  Tajadud berulang-ulang kali, sebagaimana kasus B. Marpati dan P. Jumali yang tiap tahun melaksanakan Tajadud. Maka jelas hukumnya adalah Haram.
Karena Islam telah memberikan aturan dengan jelas bahwa, seseorang itu diberikan batasan tiga kali menthalak istrinya  dan merujuknya.  Selebihnya tidak dibenarkan kecuali jika istri tersebut sudah dinikahi oleh orang lain dengan secara wajar melakukan hubungan suami istri dan diceraikan kembali, maka baru boleh suami yang pertama tadi menikah kembali kepada istri yang telah pernah di Talak tiga kali tersebut. Sebagaimana yang telah kami sampaikan pada pokok bahasan Halal dan Haram Dalam Perkawinan.

b)      Tujuan melaksanakann Tajadud yang kedua adalah Untuk memperoleh kebahagiaan dan keselamatan  dalam hidup berumah tangga.

Hal ini dilatar belakangi oleh Adanya ketidak tentraman atau ketidak harmonisan  hubungan suami istri dalam membina rumah tangga. Bagaimana hukum pelaksanaan Tajadud. Jika maksud dan tujuannya  sebagaimana tersebut diatas, halal ataukah haram.
            Untuk menentukan apakah halal ataukah haram, kita juga harus tahu. Apakah yang dimaksud dengan Ketidak tentraman atau ketidak harmonisan hubungan suami istri tersebut sampai menimbulkan pertengkaran atau perselisihan yang hebat dan suami sampai dengan sadar sepenuh hati mengeluarkan kata-kata atau ucapan  hendak menceraikan atau menthalak  istrinya  atau tidak.
            Jika suami dengan sadar dalam perselesihannya  tersebut benar-benar punya maksud untuk menthalak Istrinya, dan pada akhirnya mereka menyadari kekhilafannya lantas punya keinginan untuk kembali pada Istrinya lagi, yakni dengan melakukan
Tajadud atau Pembaharuan Nikah,  Selama pelaksanaannya tersebut tidak bertentangan dengan Syariat Islam, maka Tajadud yang mereka lakukan bisa diartikan sebagai rujuk dan hukumnya halal.
            Tapi harus dingat, bahwa masalah Thalak itu tidak boleh digunakan  sebagai suatu permainan atau sebagai suatu sumpah yang sewaktu – waktu sering diucapkan untuk mengancam Istri atau pasangan hidupnya. Sebab thalak itu memang barang yang halal namun sangat dibenci oleh Allah SWT.
       أبغض الحلال عندالله الطلاق
Artinya :  “Perkara yang halal yang sangat  dibenci Allah ialah thalak” 21)
           
            Sebagaimana disampaikan oleh Imam Al-Ghozali “22),bahwa seorang muslim tidak dihalalkan menjadikan Thalak sebagai sumpah untuk mengerjakan ini atau meninggalkan itu, atau untuk mengancam istrinya.
            Sehingga Islam melarang keras pada suami yang bersumpah untuk menjauhi istrinya. Dalam syariat islam disebut sebagai “ila’ ”23). Kalau hal itu yang terjadi maka seorang suami wajib menunggu sampai empat (4)  bulan. Kalau dia kembali baik pada Istrinya sebelum empat (4)  bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat) saja. Tetapi kalau sampai empat (4) bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruh pilih kepadanya diantara dua perkara : membayar kafarat sumpah serta
kembali baik atau menthalak istrinya. Kalau sekiranya suami itu tidak mau menjalankan salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan istrinya dengan paksa.  
Jika persolan rumah tangga suami istri  tersebut  menyangkuat masalah ucapan Sumpah  suami kepada istrinya untuk menjauhi  yang dalam bahasa fiqih disebut “Ila’, kemudian oleh Kyai di Tajadud, maka Tajadud tersebut hukumnya haram. Karena tidak sesuai dengan syariat Islam. 
            Harus dipahami bahwa tidak semua persoalan yang menyangkut ketidak keharmonisan hubungan Suami Istri bisa  di Tajadud. Harus terlebih dahulu dilihat pokok persoalannya, menyangkut masalah apa, serta bertentangan dengan hukum Islam atau tidak.  
            Apalagi jika tujuan melaksanakann Tajadud (Pembaharuan Nikah) itu hanya untuk memperoleh kebahagiaan dan keselamatan  dalam hidup berumah tangga. Sedangkan didalam rumah tangga tersebut antara Suami  Istri tidak pernah terjadi pertengkaran atau  perselisiahan  yang  menurut Syariat Islam tidak harus ada Rujuk karena Suami tidak pernah memiliki niat sama sekali untuk menceraikan Istrinya. Hanya persoalannya  sejak menikah pasangan tersebut hidupnya tidak pernah bahagia, sering kena musibah atau dalam bahasa Jawa disebut Apes Terus, usaha macet dan lain sebagianya. Kemudian mendatangi dukun atau Kyai dan oleh  Dukun atau Kyai tersebut lantas disuruh melaksankan Tajadud ( Pembaharuan Nikah ).  Maka Tajadud yang demikian itu hukumnya adalah haram.   Karena dasar untuk melaksanakan  Ibadah itu adalah perintah Allah SWT, bukan atas perintah Dukun atau Kyai.       

Sebagaimana  kaidah Fiqih bahwa “
لآتتشرع عبا دةالابشرع الله. 
           Artinya : “Suatu ibadah tidak disyariatkan kecuali disyariatkan oleh Allah”42)

c)     Tujuan ketiga dilaksanakannya Tajadud adalah Untuk memperoleh  kelancaran usaha sehingga memliki kelapangan rezeki dalam rumah tangga

            Hal ini disebabkan oleh karena adanya tekanan ekonomi di dalam rumah tangga pasangan suami istri. Sehingga membuat hidup mereka menjadi sangat tertekan yang pada akhirnya mereka mencari pelarian pergi ke Dukun atau Ke Kyai. Sehingga oleh Dukun atau Kyai disarankan untuk melaksanakan Tajadud atau Pembaharuan Nikah.Agar usahanya menjadi lancar dan memiliki kelapangan Rezeki di dalam kehidupan  rumah tangganya.
Bolehkah umat Islam melaksanakan Tajadud dengan alasan sebagaimana tersebut diatas, bagaimana pula hukumnya.  Inilah yang akan kita bahas dalam tulisan ini.
Jawabannya jelas bahwa Islam melarang keras perbuatan tersebut dan hukum adalah haram. Karena pernikahan itu masalah ibadah, dan dasar dari pelaksanaan ibadah adalah Wahyu bukan atas perintah Dukun atau Kyai. Sedangkan Hukum Asal Ibadah dinyatakan bahwa :           
الأصل فى ا لعبادات التوقيف, فلايتعبدالله الابما شرعهالله
فيكتابه وعلي لسان رسوله محمد ص م فان العبا دة حق خالص لله تعالى قد طلبه من عباده بمقتضى ربو بيته لهم وكيفية العبا دة وهيئتها والتقرب بها ليكون الاعلى الوجه الدى
شرعه وأذن به…  

Artinya : Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqif ( mengikuti ketentuan dan tata cara yang telah ditentukan oleh syariat.  Karena itu tidak dibenarkan beribadah kepada Allah kecuali dengan peribadatan yang telah disyariatkan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan melalui penjelasan Rasul-Nya, Muhammad SAW. Hal ini karena ibadah adalah hak murni Allah yang Ia tuntut dari Hamba-Nya berdasarkan sifat rububiyah-Nya terhadap mereka.Tata cara, sifat, dan ber-taqorub (melakukan pendekatan diri kepada Allah) dengan ibadah hanya boleh dilakukan dengan cara yang telah disyariatkan dan diizinkan-Nya…. “43) 

          Karena itulah dalam masalah Ibadah kita tidak boleh membuat tata cara yang baru, melainkan harus sesuai dengan tuntunan  dari Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW.
من أحد ث في أمرناما ليس منه فهوردز (متفقن عليه)
Artinya : Barangsiapa yang membuat cara baru dalam urusan Kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia tertolak”44)
            Apalagi Tajadud ( Pembaharuan Nikah ) yang ia laksanakan tiap tahun, Maka hukumnya jelas haram. Karena sudah jelas  bahwa Islam telah memberikan batasan berapa kali seorang pasangan Suami Istri diberi kesempatan untuk Menthalak dan merujuk Istrinya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an surat  Al-Baqarah ayat 229-230.     
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Artinya : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik…”45

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ
يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
Artinya : … “Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah…”46)

          Sedangkan Thalak tanpa adanya kondisi yang memaksa dan sebelum diadakannya berbagai usaha serta cara pendekatan menurut  Dr. Yusuf Qordhawi hukumnya adalah haram”47).  Adapun tradisi Tajadud yang selama ini telah dilakukan oleh masyarakat muslim Kec. Klakah Kab. Lumajang setiap tahun sekali bahkan satu minggu sekali.hukumnya adalah haram. Sebab dengan adanya Tajadud atau Pembaharuan Nikah atau dalam Bahasa Jawa disebut sebagai Nganyari Nikah. Bararti dalam pernikahan tersebut telah terjadi kerusakan sehingga perlu untuk diperbaharui. Sedangkan batas toleransi adanya kerusakan dalam pernikahan akibat adanya ucapan Thalak itu dua kali sedangkan yang ketiga kalinya dibolehkan dengan syarat si Istri tadi sudah nikahi oleh orang lain sudah berhubungan badan, dan sudah diceraikan. Baru Suami yang pertama tadi boleh menikahi kembali. Itupun dengan syarat tidak boleh akal – akalan dengan tujuan agar Suami pertama tadi bisa menikah kembali dengan istri terdahulu. Ini menurut Syariat Islam disebut sebagai “ Muhallil”  kawin karena cinta buta.
            Jika hal ini yang terjadi maka hukumnya adalah haram, dan perkawinan semacam ini adalah dosa besar. Sebagaimana sabda Rosulullah Saw. Yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.
 لعن الله المحلل والمحلل له.
Art inya : “Allah melaknati Muhallil ( yang kawin cinta buta ) dan Muhallalnya ( bekas suami yang menyuruh orang menjadi muhallil”48).  

            Yang sudah seperti itu saja masih diharamkan oleh Allah, apalagi yang terjadi dari peristiwa Tajadud, satu pasangan ( Suami – Istri ) bisa dinikahkan sampai berulang-kali, dasarnya bukan syariah akan tetapi atas petunjuk Dukun atau Kyai. Maka tidak diragukan lagi bahwa hal yang semacam itu hukumnya adalah Haram.


BAB III
KESIMPULAN

1. Kesimpulan
          Dari beberapa uraian tersebut diatas dapat ditarik satu kesimpulkan bahwa :
a)      Tajadud adalah Pembaharuan Nikah yang dalam bahasa Jawa sering disebut dengan istilah Nganyari Nikah. 
b)      Dalam hukum Islam Istilah Tajadud tidak pernah diketemukan, karena ternyata Tajadud hanyalah merupakan tradisi yang sudah turun temurun dari Nenek moyang kita dan tidak memiliki dasar hukum  yang jelas baik dari  Al-qur’an maupun Sunnah.
c)      Pernikahan dalam Islam adalah Ibadah dan pelaksanaannya berdasarkan perintah dan larangan dari Allah dan Rasul-Nya, bukan dari Dukun atau Kyai.   Ia merupakan suatu lembaga  yang sangat sacral dalam rangka untuk melangsungkan keturunan dan mewujudkan keluarga yang sakinah, mawwadah dan Warrahmah.  Sehingga pelaksanaannya tidak perlu diperbaharui terus menerus tiap semingu sekali atau setahun sekali. Sebagaimana yang dilakukan oleh Pasangan B. Marpati dan dan P. Jumali warga desa Mlawang Kec. Klakah Kab. Lumajang. Yang tiap tahun mengadakan Tajadud, maka yang demikian  itu hukumnya adalah Haram.
d)      Tajadud dengan tujuan Untuk memperbaiki  atau memperbaharui  Nikah, dalam batasan tertentu mungkin bisa diartikan sebagai rujuk. Sehingga pelaksanaannya apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam, maka hukumnya boleh. Namun jika bertentangan dengan hukum islam atau tidak sesuai dengan Syariat Islam maka hukumnya adalah haram.  
e)     Tajadud  yang dilaksanakan dengan tujuan Untuk memperoleh kebahagiaan dan keselamatan  dalam hidup berumah tangga, Untuk memperoleh  kelancaran usaha, Agar memliki kelapangan rezeki dalam rumah tangga. Adalah bertentangan dengan syariat Islam sehingga hukumnya haram. 
f)        Ada aturan dalam islam bagaimana jika kita sudah tidak bisa lagi cocok dengan pasangan kita, tidak lagi bisa hidup tentram sering cekcok dan lain sebagainya.Yakni melalui jalur Thalak. Dan apabila kita ingin kembali, karena mungkin kita telah khilaf dan menyesal berpisah dengan pasangan kita, ternyata kita masih cinta. Kita oleh  Allah diberi kesempatan untuk Rujuk kembali pada Istri kita yang telah kita Thalak tersebut sebelum masa iddahnya berakhir.
g)      Namun Thalak dan Rujuk itupun ada aturannya dan ada batasannya, hanya maksimal dua kali saja seorang suami diberi kesempatan boleh  menthalak dan merujuk pada Istrinya. Untuk Thalak yang ketiga seorang suami tidak diperbolehkan untuk rujuk kepada Istri yang sudah di Thalak tiga tadi sebelum istrinya dinikahi oleh lelaki lain dan sudah pernah berhubungan layaknya suami istri  serta sudah diceraikan oleh suaminya tersebut. Baru suami pertama tadi boleh menikah kembali pada istri pertamanya tadi. Itupun tidak boleh main-main atau akal-akalan. Jika itu main-main atau akal-akalan, maka hukumnya adalah haram dan dilaknat oleh Allah SWT.

2. Saran – Saran
           
a)      Karena tajadud itu hanyalah merupakan suatu tradisi, maka pelaksanannya harus hati-hati betul, terutama  harus tahu maksud dan tujuan diadakannya Tajadud. Kalau memang bertentangan dengan syariat Islam, maka seorang Kyai harus berani menolak dengan tegas dan mengatakan bahwa yang demikian itu hukumnya adalah haram.
b)      Perlu adanya sosialisai yang lebih serius dan berkelanjutan kepada seluruh lapisan masyarakat termasuk para tokoh agama, tokoh masyarakat dan para Kyai mengenai pelaksanaan Tajadud  yang seharusnya untuk dihindari, karena perkawinan itu sesuatu yang sangat sacral dan merupakan bagian dari Ibadah dan  pelaksanaannya pun harus berdasarkan perintah Allah dan Rasul-Nya. Bukan perintah Dukun atau Kyai.
c)      Para Pembantu Penghulu sebagai Tokoh Agama dan sekaligus merupakan kepanjangan tangan dari KUA, hendaknya lebih intensif dalam memberikan pembinaan, pengarahan dan penyuluhan pada masyarakat, bukan sebaliknya malah menghidup suburkan praktek Tajadud ditengah masyarakat. Sehingga diharapkan mereka tidak lagi melakukan praktek Tajadud ( Pembahruan Nikah ) yang menyimpang dari ajaran Islam.

3.    Penutup
Demikian makalah kami tentang  “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Tajadud”, Study Kasus dari Pasangan P. Jumali dan B. Marpati warga desa Mlawang Kec. Klakah Kab. Lumajang”.
Mudah – mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Khususnya bagi diri saya sendiri dan para pembaca sekalian pada umunya, agar  dapat dijadikan telaah  didalam  menjalankan  syariat Islam yang sebenarnya.
Harapan Kami  agar apa yang ada di dalam tulisan ini , dapat disampaikan kepada pihak-pihak lain yang memang sangat membutuhkan infortmasi tentang Pelaksanaan Tajadud kaitannya dengan hukum Islam.
Bukan untuk ditiru atau diamalkan  akan tetapi untuk   mendapatkan perhatian dan pembinaan agar apa yang mereka laksanakan selama ini sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Seabagaimana manusia biasa, kami banyak memiliki kelemahan dan kekurangan. Sebab tak ada gading yang tak retak. Masukan, kritikan ,saran dan pendapat yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Atas segala perhatian serta saran dan pendapatnya kami sampaikan banyak terima kasih.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

01.Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail “Shohih al-Bukhari. Beirut Dar al-Fikr,1981,
02.Ashshiddik, Hasbi.TM. Prof.Dr.dkk.  “Al-qur’an dan Terjemahannya”, Yayasan
            Penterjemah/Penafsir Al-qur’an, Jakarta, 1971.

05.Al-ghozali, Imam”Benang Tipis Antara Halal dan Haram”, Ahmad Shiddiq, Penyunting. Putra Pelajar, Surabaya, 2002.

06.Budiman,Nashir.A, Ed. “Inti Ajaran Islam, Al-qur’an Paradigma Perilaku Duniawi dan Ukrowi”, Thomas Ballatine Irving dkk. CV.Rajawali,Jakarta, 1987.

07.Bulughul Maram, Terj. A. Hasan,  CV. Diponegoro Bandung, Cet. XXIII,1999, 

08 “Ensiklopedi Islam Jilid 4 “, PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999.

09 “Ensiklopedi Islam Jilid 5 “, PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999.

10. “Fattwa-Fatwa Tentang Wanita”, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh dkk. Terj. Amin bin Yahya Al-Wazan, Darul Haq, Jakarta, 2001.

11. Hasyim,Aris Gunawan.Ir. “Kamus Ayat-Ayat Al-qur’an “, Waru Sidoarjo, 1997.

12.“Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia”,Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggara Haji. Departemen Agama RI, Jakarta, 2003.

13.Nana Sudjana, Dr.“Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah, Makalah – Skripsi-Tesis- Disertasi”, Sinar Baru, Bandung, Cet. Pertama, Tahun 1998.

14..Qordhawi, Yusuf, Dr. “Halal  Haram Dalam Islam”, Era Intermedia Suirakarta,
2000.

15.Rasyid ,Sulaiman. “Fiqih Islam”, Sinar Baru, Bandung, 1992.

16.Sabbiq, Sayyid, “Fikih Sunnah”, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1981.



.





2 komentar: